Minggu, 19 Mei 2013



NAMA  : ROSI PRATIWI
BP           : 2010

GERWANI dan PENGARUH pada ERA 1990-an

Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) adalah organisasi perempuan yang paling besar dan paling berpengaruh dalam sejarah Indonesia. GERWANI berasal dari Gerakan Wanita Sedar (GERWIS) yang didirikan pada tahun 1950. Para anggotanya ini pada umumnya berpendidikan tinggi dan berkesadaran politik. Kaum perempuan tertarik pada organisasi ini semata-mata oleh karena kegiatannya yang menyangkut kebutuhan sehari-hari mereka. Warung-warung koperasi simpan pinjam kecil-kecilan didirikan. Perempuan tani dan buruh disokong dalam sengketa mereka dengan tuan tanah atau majikan pabrik tempat mereka bekerja. Taman Kanak-kanak diselenggarakan dipasar, perkebunan, dan kampung-kampung. Dibuka pula badan-badan penyuluh perkawinan untuk membantu kaum perempuan yang menghadapi masalah perkawinan. Kursus kader-kader dibuka pada berbagai tingkat organisasi, dan dalam kursus-kursus ini digunakan buku-buku tulisan Friedrich Engels, August Babel, Clara Zetkin, dan Soekarno.
Pada kesempatan ini juga diajarkan keterampilan teknis, misalnya tata buku dan manajemen. Hal penting lain yang diajarkan adalah sejarah gerakan perempuan Indonesia. Sudah sejak awalnya GERWANI sangat giat dalam membantu peningkatan kesadaran perempuan tani, bekerja sama dengan bagian perempuan BTI, membantu aksi-aksi sepihak pendudukan tanah yang dilancarkan oleh BTI, dan menuntut agar hak atas tanah juga diberikan kepada kaum perempuan. GERWANI juga melakukan kampanye pemberantasan buta huruf yang dimulai pada tahun 1955, perubahan Undang-undang Perkawinan yang lebih demokratis, menuntut hukuman yang berat untuk pelaku perkosaan dan penculikan, dan terlibat dalam demonstrasi menuntut hak-hak buruh perempuan. GERWANI menerbitkan dua (2) majalah, Api Kartini dan Berita Gerwani. Api Kartini terutama ditujukan bagi pembaca lapisan tengah yang sedang tumbuh tidak hanya memuat tulisan-tulisan tentang masak-memasak, pengasuhan anak, mode, dll, tetapi juga soal-soal yang lebih “feminis” dan “kiri” seperti kejahatan imperilaisme (Api Kartini adalah majalah pertama di Indonesia yang menunjukkan pengaruh buruk film-film Hollywood yang bermutu rendah yang saat itu banyak beredar dan baru belakangan PKI melontarkan masalah imperialisme kebudayaan Barat), poligami, dan pentingnya pendidikan bagi kaum perempuan serta masalah sekitar kaum perempuan yang bekerja. Berita Gerwani adalah majalah intern organisasi, dengan berita-berita tentang konferensi dan organisasi perempuan di negara-negara sosialis.
Semua itu dilakukan oleh perempuan Indonesia yang ingin mendidik perempuan untuk maju, yang ingin mengubah Indonesia menjadi negeri yang adil tanpa penindasan dan penghisapan atas manusia, yang memperjuangkan kepentingan rakyat miskin, yang anti-imperialisme. Mereka telah menunjukkan keberanian dalam menghadapi kesulitan, tidak sedikit dari mereka bahkan gigih membela keyakinannya sekalipun dengan tebusan nyawa.

Namun kudeta militer merubah segalanya. GERWANI dicap sebagai perkumpulan pelacur, wadah berkumpulnya perempuan kasar (jauh dari perwujudan perempuan Indonesia semestinya: lemah lembut, pendiam, penurut, sopan, ibu yang penuh kasih sayang, isteri yang setia dan jauh dari hal-hal politik) serta atheis. Kampanye menjatuhkan GERWANI menjadi histeria massa, dan orang-orang yang pernah menjadi anggotanya menghadapi bahaya dan penyingkiran di masyarakat. Berakhirnya riwayat organisasi perempuan Indonesia yang terbesar ini sungguh mendadak, cepat, dan tidak terduga. Keluh kesah apa pun yang diungkapkan sehubungan dengan situasi sosial dan ekonomi yang sulit, dan terutama mengenai bagaimana hubungannya dengan subordinasi kaum perempuan, akan dicap sebagai berpolitik. Keluh kesah demikian berimplikasi semangat Kiri, dan “Kiri” dalam hubungan dengan “kaum perempuan” akan menimbulkan berbagai kesulitan yang disangkutpautkan dengan pesta pora seks dan upacara pembunuhan. Demikianlah rezim militer menggunakan simbol-simbol tersebut untuk menciptakan pembenaran bagi kelangsungan tindakan represinya, tidak saja terhadap kaum perempuan tetapi juga terhadap golongan tertindas lainnya. Sampai sekarang.
Peran organisasi perempuan ini telah ditahbiskan oleh negara melalui teks-teks hingga seluloid film sebagai stereotip perempuan yang kurang bermoral dan terlibat dalam Peristiwa 30 September 1965. Studi Saskia E Wierenga dan Katherine E Mc Gregor menunjukkan betapa wacana tunggal kekuasaan telah melakukan stigmatisasi terhadap lembaga Gerwani. Deskripsi tunggal yang dibenarkan instrument negara tersebut menumbuhkan proses anarki kekuasaan yang mencuatkan kekerasan simbolik.

Kekerasan simbolik ini melahirkan kepatuhan dan kefasihan dalam diam yang harus diterima oleh perempuan Indonesia. Demikian halnya dengan perlakuan negara yang ditimpakan kepada pengurus dan anggota Gerwani sesudah mereka dituding terlibat didalam peristiwa 30 September 1965.

Jumat, 26 April 2013

Filsafat Positivisme


Asal Mula Positivisme
Positivisme adalah suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu alam sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak aktifitas yang berkenaan dengan metafisik. Tidak mengenal adanya spekulasi, semua didasarkan pada data empiris.
Sesungguhnya aliran ini menolak adanya spekulasi teoritis sebagai suatu sarana untuk memperoleh pengetahuan (seperti yang diusung oleh kaum idealisme khususnya idealisme Jerman Klasik).
Positivisme merupakan empirisme, yang dalam segi-segi tertentu sampai kepada kesimpulan logis ekstrim karena pengetahuan apa saja merupakan pengetahuan empiris dalam satu atau lain bentuk, maka tidak ada spekulasi dapat menjadi pengetahuan. Terdapat tiga tahap dalam perkembangan positivisme, yaitu:
1. Tempat utama dalam positivisme pertama diberikan pada Sosiologi, walaupun perhatiannya juga diberikan pada teori pengetahuan yang diungkapkan oleh Comte dan tentang Logika yang dikemukakan oleh Mill. Tokoh-tokohnya Auguste Comte, E. Littre, P. Laffitte, JS. Mill dan Spencer.
2. Munculnya tahap kedua dalam positivisme – empirio-positivisme – berawal pada tahun 1870-1890-an dan berpautan dengan Mach dan Avenarius. Keduanya meninggalkan pengetahuan formal tentang obyek-obyek nyata obyektif, yang merupakan suatu ciri positivisme awal. Dalam Machisme, masalah-masalah pengenalan ditafsirkan dari sudut pandang psikologisme ekstrim, yang bergabung dengan subyektivisme.
3. Perkembangan positivisme tahap terakhir berkaitan dengan lingkaran Wina dengan tokoh-tokohnya O.Neurath, Carnap, Schlick, Frank, dan lain-lain. Serta kelompok yang turut berpengaruh pada perkembangan tahap ketiga ini adalah Masyarakat Filsafat Ilmiah Berlin. Kedua kelompok ini menggabungkan sejumlah aliran seperti atomisme logis, positivisme logis, serta semantika. Pokok bahasan positivisme tahap ketiga ini diantaranya tentang bahasa, logika simbolis, struktur penyelidikan ilmiah dan lain-lain.

Positivisme Logis

Dalam perkembangannya, positivisme mengalami perombakan dibeberapa sisi, hingga munculah aliran pemikiran yang bernama Positivisme Logis yang tentunya di pelopori oleh tokoh-tokoh yang berasal dari Lingkaran Wina.
Positivisme logis adalah aliran pemikiran dalam filsafat yang membatasi pikirannya pada segala hal yang dapat dibuktikan dengan pengamatan atau pada analisis definisi dan relasi antara istilah-istilah. Fungsi analisis ini mengurangi metafisika dan meneliti struktur logis pengetahuan ilmiah. Tujuan dari pembahasan ini adalah menentukan isi konsep-konsep dan pernyataan-pernyataan ilmiah yang dapat diverifikasi secara empiris.
Tujuan akhir dari penelitian yang dilakukan pada positivisme logis ini adalah untuk mengorganisasikan kembali pengetahuan ilmiah di dalam suatu sistem yang dikenal dengan ”kesatuan ilmu” yang juga akan menghilangkan perbedaan-perbedaan antara ilmu-ilmu yang terpisah. Logika dan matematika dianggap sebagai ilmu-ilmu formal.
Positivisme berusaha menjelaskan pengetahuan ilmiah berkenaan dengan tiga komponen yaitu bahasa teoritis, bahasa observasional dan kaidah-kaidah korespondensi yang mengakaitkan keduanya. Tekanan positivistik menggarisbawahi penegasannya bahwa hanya bahasa observasional yang menyatakan informasi faktual, sementara pernyataan-pernyataan dalam bahasa teoritis tidak mempunyai arti faktual sampai pernyataan-pernyataan itu diterjemahkan ke dalam bahasa observasional dengan kaidah-kaidah korespondensi.

Auguste Comte dan Positivisme

Comte adalah tokoh aliran positivisme yang paling terkenal. Kamu positivis percaya bahwa masyarakat merupakan bagian dari alam dimana metode-metode penelitian empiris dapat dipergunakan untuk menemukan hukum-hukum sosial kemasyarakatan. Aliran ini tentunya mendapat pengaruh dari kaum empiris dan mereka sangat optimis dengan kemajuan dari revolusi Perancis.
Pendiri filsafat positivis yang sesungguhnya adalah Henry de Saint Simon yang menjadi guru sekaligus teman diskusi Comte. Menurut Simon untuk memahami sejarah orang harus mencari hubungan sebab akibat, hukum-hukum yang menguasai proses perubahan. Mengikuti pandangan 3 tahap dari Turgot, Simon juga merumuskan 3 tahap perkembangan masyarakat yaitu tahap Teologis, (periode feodalisme), tahap metafisis (periode absolutisme dan tahap positif yang mendasari masyarakat industri.
Comte menuangkan gagasan positivisnya dalam bukunya the Course of Positivie Philosoph, yang merupakan sebuah ensiklopedi mengenai evolusi filosofis dari semua ilmu dan merupakan suatu pernyataan yang sistematis yang semuanya itu tewujud dalam tahap akhir perkembangan. Perkembangan ini diletakkan dalam hubungan statika dan dinamika, dimana statika yang dimaksud adalah kaitan organis antara gejala-gejala ( diinspirasi dari de Bonald), sedangkan dinamika adalah urutan gejala-gejala (diinspirasi dari filsafat sehjarah Condorcet).
Bagi Comte untuk menciptakan masyarakat yang adil, diperlukan metode positif yang kepastiannya tidak dapat digugat. Metode positif ini mempunyai 4 ciri, yaitu :
1. Metode ini diarahkan pada fakta-fakta
2. Metode ini diarahkan pada perbaikan terus meneurs dari syarat-syarat hidup
3. Metode ini berusaha ke arah kepastian
4. Metode ini berusaha ke arah kecermatan.
Metode positif juga mempunyai sarana-sarana bantu yaitu pengamatan, perbandingan, eksperimen dan metode historis. Tiga yang pertama itu biasa dilakukan dalam ilmu-ilmu alam, tetapi metode historis khusus berlaku bagi masyarakat yaitu untuk mengungkapkan hukum-hukum yang menguasai perkambangan gagasan-gagasan.

Karl R Popper: Kritik terhadap Positivisme Logis

Asumsi pokok teorinya adalah satu teori harus diji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya, dan Popper menyajikan teori ilmu pengetahuan baru ini sebagai penolakannya atas positivisme logis yang beranggapan bahwa pengetahuan ilmiah pada dasarnya tidak lain hanya berupa generalisasi pengalaman atau fakta nyata dengan menggunakan ilmu pasti dan logika. Dan menurut positivisme logis tugas filsafat ilmu pengetahuan adalah menanamkan dasar untuk ilmu pengetahuan.
Hal yang dikritik oleh Popper pada Positivisme Logis adalah tentang metode Induksi, ia berpendapat bahwa Induksi tidak lain hanya khayalan belaka, dan mustahil dapat menghasilkan pengetahuan ilmiah melalui induksi. Tujuan Ilmu Pengetahuan adalah mengembangkan pengetahuan ilmiah yang berlaku dan benar, untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan logika, namun jenis penalaran yang dipakai oleh positivisme logis adalah induksi dirasakan tidak tepat sebab jenis penalaran ini tidak mungkin menghasilkan pengetahuan ilmiah yang benar dan berlaku, karena elemahan yang bisa terjadi adalah kesalahan dalam penarikan kesimpulan, dimana dari premis-premis yang dikumpulkan kemungkinan tidak lengkap sehingga kesimpulan atau generalisasi yang dihasilkan tidak mewakili fakta yang ada. Dan menurutnya agar pengetahuan itu dapat berlaku dan bernilai benar maka penalaran yang harus dipakai adalah penalaran deduktif.
Penolakan lainnya adalah tentang Fakta Keras, Popper berpendapat bahwa fakta keras yang berdiri sendiri dan terpisah dari teori sebenarnya tidak ada, karena fakta keras selalu terkait dengan teori, yakni berkaitan pula dengan asumsi atau pendugaan tertentu. Dengan demikian pernyataan pengamatan, yang dipakai sebagai landasan untuk membangun teori dalam positivisme logis tidak pernah bisa dikatakab benar secara mutlak.
Analisa Positivisme
Kalau di amati positivisme dari sudut pandang asalnya, maka kita akan dapat mengetahui bahwa positivisme berakar dari teori empirisme, di mana aspek yang terkandung dalam empirisme juga terkandung dalam positivisme, aspek tersebut adalah:
Perbedaan antara yang diketahui dan yang mengetahui. Yang mengetahui adalah subyek dan benda yang diketahui adalah obyek. Terdapat alam nyata yang terdiri dari fakta atau obyek yang adapat ditangkap oleh seseorang. Hal ini sama dengan
positivisme, di mana hal-hal yang nyata dan dapat diketahuilah yang dapat diteliti, suatu hal yang bersifat khayalan atau yang maya maupun yang mistis tidak dapat dijadikan kajian.
Kebenaran atau pengujian kebenaran dari fakta atau obyek didasarkan pada pengalaman manusia, atau dalam hal ini maka pernyataan ada atau tidak adanya sesuatu haruslah memenuhi persyaratan pengujian publik. Sedangkan dalam positivisme, menurut Comte, di mana didalam pengetahuan sosial mensyaratkan subordinasi observasi dan juga pengujian.
Prinsip keteraturan. Pengetahuan tentang alam didasarkan pada persepsi mengenai cara yang teratur tentang tingkah laku sesuatu, dan pada dasarnya alam adalah teratur. Dengan melukiskan bagaimana sesuatu telah terjadi dimasa lalu atau dengan melukiskan bagaimana tingkah laku benda-benda yang sama sekarang.
Dalam law of three stages, tercermin pandangan Comte tentang garis perkembangan menuju ke arah kemajuan, yang berlaku tidak saja dalam proses sejarah kehidupan manusia, akan tetapi juga dalam proses perkembangan jiwa manusia secara individual dan keseluruhan. Pandangan tersebut juga terlihat dalam penggolongan ilmu pengetahuan yang ia susun. “Kemajuan” merupakan segi kekuatan filsafat positivisme August Comte, artinya filsafat tersebut ternyata dapat mempertebal rasa optimisme ataupun mitos yang telah timbul sejak zaman Aufklarung tentang masa depan manusia yang cerah atau maju.
Filsafat positivisme mempunyai tempat tersendiri dalam sejarah filsafat Barat, banyak para tokoh yang mengatakan bahwa Comte bukanlah seorang paham dogmatisme karena ia selalu melacak percobaan yang terjadi dalam pandangan manusia, serta selalu mengemukakan relatifnya pengetahuan manusia. Dia juga bukanlah penganut paham idealisme, karena ia selalu menegaskan bahwa corak khas filsafat positivism terletak pada penempatan imajinasi di bawah kendali pengamatan terus menerus.
Logika positivisme berkembang menjadi logika atomisme Russel dan  ittgenstein, perkembangan logicapositisme kemudian banyak digarap oleh para anggota lingkaran Wina dan mencurahkan perhatiannya untuk dua sasaran, yaitu penyatuan ilmu dan pengabaian metafisik.
Dari deskriptif ringkas di atas mengenai positivisme, maka sebenarnya  positivisme mempunyai beberapa kelebihan dan kekurangan, yaitu antara lain:
a. Kelebihan Positivisme
Di antara kelebihan positivisme adalah:
Ø Positivisme lahir dari faham empirisme dan rasional, sehingga kadar dari faham ini jauh lebih tinggi dari pada kedua faham tersebut.
Ø Hasil dari rangkaian tahapan yang ada didalamnya, maka akan menghasilkan suatu pengetahuan yang mana manusia akan mempu menjelaskan realitas kehidupan tidak secara spekulatif, arbitrary, melainkan konkrit, pasti dan bisa jadi mutlak, teratur dan valid.
Ø Dengan kemajuan dan dengan semangat optimisme, orang akan didorong untuk bertindak aktif dan kreatif, dalam artian tidak hanya terbatas menghimpun fakta, tetapi
juga meramalkan masa depannya.
Ø Positivisme telah mampu mendorong lajunya kemajuan disektor fisik dan teknologi.
Ø Positivisme sangat menekankan aspek rasionali-ilmiah, baik pada epistemology ataupun keyakinan ontologik yang dipergunakan sebagai dasar pemikirannya.
b. Kelemahan Positivisme
Di antara kelemahan positivisme adalah:
Ø  Analisis biologik yang ditransformasikan ke dalam analisis sosial dinilai sebagai akar terpuruknya nilai-nilai spiritual dan bahkan nilai-nilai kemanusiaan. Hal ini dikarenakan manusia tereduksi ke dalam pengertian fisik-biologik.
Ø Akibat dari ketidakpercayaannya terhadap sesuatu yang tidak dapat diuji kebenarannya, maka faham ini akan mengakibatkan banyaknya manusia yang nantinya tidak percaya kepada Tuhan, Malaikat, Setan, surga dan neraka. Padahal yang demikian itu didalam ajaran Agama adalah benar kebenarannya dan keberadaannya. Hal ini
ditandai pada saat paham positivistik berkembang pada abad ke 19, jumlah orang yang tidak percaya kepada agama semakin meningkat.
Ø Manusia akan kehilangan makna, seni atau keindahan, sehingga manusia tidak dapat merasa bahagia dan kesenangan itu tidak ada. Karena dalam positivistic semua hal itu dinafikan.
Ø Hanya berhenti pada sesuatu yang nampak dan empiris sehingga tidak dapat menemukan pengetahuan yang valid.
Ø Positivisme pada kenyataannya menitik beratkan pada sesuatu yang nampak yang dapat dijadikan obyek kajiaannya, di mana hal tersebut adalah bergantung kepada panca indera. Padahal perlu diketahui bahwa panca indera manusia adalah terbatas dan
tidak sempurna. Sehingga kajiannya terbatas pada hal-hal yang nampak saja, padahal banyak hal yang tidak nampak dapat dijadikan bahan kajian.
Ø Hukum tiga tahap yang diperkenalkan Comte mengesankan dia sebagai teorisi yang optimis, tetapi juga terkesan lincar – seakan setiap tahapan sejarah evolusi merupakan batu pijakan untuk mencapai tahapan berikutnya, untuk kemudian bermuara pada puncak yang digambarkan sebagai masyarakat positivistic. Bias teoritik seperti itu tidak memberikan ruang bagi realitas yang berkembang atas dasar siklus – yakni realitas sejarah berlangsung berulang-ulang tanpa titik akhir sebuah tujuan sejarah yang final.


Organisasi Wanita
Revolusi Prancis ternyata menyangkut masalah bias gender. Kaum wanita yang sebelumnya menjadi makhluk kedua sesudah pria, setelah Revolusi Prancis menjadi lebih berani dan percaya diri bahwa mereka pun sama dengan kaum pria yang memiliki tanggung jawab sosial yang relatif sama. Pergerakan paham emansipasi pada gilirannya mencapai Indonesia pula yang tengah dalam giatgiatnya membangun kesadaran kebangsaan.
Seperti halnya dengan para pemuda, kaum perempuan Indonesia tidak ketinggalan dalam menyumbangkan tenaga dan pikirannya dalam memperluas dan memperkuat perasaan kebangsaan. Mereka juga mendirikan organisasi-organisasi kewanitaan, dengan menitik beratkan perjuangannya pada perbaikan kedudukan sosial wanita. Seperti halnya hal yang menyangkut perkawinan, keluarga, peningkatan pengetahuan, pendidikan, dan keterampilan wanita. Pada mulanya gerakan mereka merupakan bagian dari organisasi lokal kedaerahan atau keagamaan. Organisasi-organisasi wanita yang berdiri pada masa pergerakan nasional antara lain.
1.  Putri Mardika (1912)
Putri Mardika adalah organisasi keputrian tertua dan merupakan bagian dari Budi Utomo. Tujuannya adalah untuk memberikan bantuan, bimbingan dan penerangan kepada wanita-wanita pribumi dalam menuntut pelajaran dan dalam menyatakan pendapat di muka umum. Kegiatannya antara lain sebagai berikut: memberikan beasiswa dan menerbitkan majalah bulanan. Tokoh-tokohnya: P.A Sabarudin, R.A Sutinah Joyopranoto, R.R Rukmini, dan Sadikun Tondokukumo.
2.  Kartini Fonds (Dana Kartini)
Organisasi ini didirikan oleh Tuan dan Nyonya C. Th. Van Deventer, tokoh politik etis. Salah satu usahanya adalah mendirikan sekolah-sekolah, misalnya: Sekolah Kartini di Jakarta, Bogor, Semarang (1913), setelah itu di Madiun (1914), Malang dan Cirebon (1916), Pekalongan (1917), Subabaya dan Rembang. 3) Kautamaan Istri Organisasi ini berdiri sejak tahun 1904 di Bandung, yang didirikan oleh R. Dewi Sartika. Pada tahun 1910 didirikan Sekolah Keutamaan Istri, dengan tujuan mengajar anak gadis agar mampu membaca, menulis, berhitung, punya keterampilan kerumahtanggaan agar kelak dapat menjadi ibu rumah tangga yang baik. Kegiatan ini kemudian mulai diikuti oleh kaum wanita di kota-kota lainnya, yaitu Tasikmalaya, Garut, Purwakarta, dan Padang Panjang.
4.  Kerajinan Amal Setia (KAS)
KAS didirikan di Kota Gadang Sumatra Barat oleh Rohana Kudus tahun 1914. Tujuannya adalah untuk meningkatkan pendidikan wanita, dengan mengajarkan cara-cara mengatur rumah tangga, membuat barang-barang kerajinan tangan beserta cara pemasarannya. Pada tahun itu juga, KAS berhasil mendirikan sekolah wanita pertama di Sumatera sebelum terbentuknya Diniyah Putri di Padangpanjang.
5.  Aisyiah (1917)
Aisyiah didirikan pada 22 April 1917 dan merupakan bagian dari Muhammadiyah. Pendirinya adalah H. Siti Walidah Ahmad Dahlan. Kegiatan utamanya adalah memajukan pendidikan dan keagamaan bagi kaum wanita, memelihara anak yatim, dan menanamkan rasa kebangsaan lewat kegiatan organisasi agar kaum wanita dapat mengambil peranan aktif dalam pergerakan nasional.
6.  Percintaan Ibu Kepada Anak Turunannya (PIKAT)
PIKAT didirikan pada bulan Juli 1917 oleh Maria Walanda Maramis di Menado, Sulawesi Utara. Tujuannya: memajukan pendidikan kaum wanita dengan cara mendirikan sekolah-sekolah rumah tangga (1918) sebagai calon pendidik anak-anak perempuan yang telah tamat Sekolah Rakyat. Di dalamnya diajari cara-cara mengatur rumah tangga yang baik, keterampilan, dan menanamkan rasa kebangsaan.
7.  Organisasi Kewanitaan Lain
Organisasi Kewanitaan lain yang berdiri cukup banyak, antara lain: Pawiyatan Wanita di Magelang (1915), Wanita Susila di Pemalang (1918), Wanita Rukun Santoso di Malang, Budi Wanita di Solo, Putri Budi Sejati di Surabaya (1919), Wanita Mulya di Yogyakarta (1920), Wanita Katolik di Yogyakarta (1921), PMDS Putri (1923), Wanita Taman Siswa (1922), dan Putri Indonesia (1927).
8.  Kongres Perempuan Indonesia
Pada 22-25 Desember 1928 di Yogyakarta, diselenggarakan Kongres Perempuan Indonesia pertama. Kongres tersebut diprakarsai oleh berbagai organisasi wanita seperti: Wanita Utomo, Putri Indonesia, Wanita Katolik, Wanita Mulya, Aisyiah, SI, JIB, dan Taman Siswa bagian wanita. Tujuan kongres adalah mempersatukan cita-cita dan usaha untuk memajukan wanita Indonesia, dan juga mengadakan gabungan antara berbagai perkumpulan wanita yang ada.
Dalam kongres itu diambil keputusan untuk mendirikan gabungan perkumpulam wanita yang disebut Perikatan Perempuan Indonesia (PPI) dengan tujuan:
·        memberi penerangan dann perantaraan kepada kaum perempuan, akan mendirikan studie fond untuk anak-anak perempuan yang tidak mampu;
·        mengadakan kursus-kursus kesehatan;
·        menentang perkawinan anak-anak;
·        memajukan kepanduan untuk organisasi-organisasi wanita tersebut di atas, pada umumnya tidak mencampuri urusan politik dan berjuang dengan haluan kooperatif.