Minggu, 19 Mei 2013



NAMA  : ROSI PRATIWI
BP           : 2010

GERWANI dan PENGARUH pada ERA 1990-an

Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) adalah organisasi perempuan yang paling besar dan paling berpengaruh dalam sejarah Indonesia. GERWANI berasal dari Gerakan Wanita Sedar (GERWIS) yang didirikan pada tahun 1950. Para anggotanya ini pada umumnya berpendidikan tinggi dan berkesadaran politik. Kaum perempuan tertarik pada organisasi ini semata-mata oleh karena kegiatannya yang menyangkut kebutuhan sehari-hari mereka. Warung-warung koperasi simpan pinjam kecil-kecilan didirikan. Perempuan tani dan buruh disokong dalam sengketa mereka dengan tuan tanah atau majikan pabrik tempat mereka bekerja. Taman Kanak-kanak diselenggarakan dipasar, perkebunan, dan kampung-kampung. Dibuka pula badan-badan penyuluh perkawinan untuk membantu kaum perempuan yang menghadapi masalah perkawinan. Kursus kader-kader dibuka pada berbagai tingkat organisasi, dan dalam kursus-kursus ini digunakan buku-buku tulisan Friedrich Engels, August Babel, Clara Zetkin, dan Soekarno.
Pada kesempatan ini juga diajarkan keterampilan teknis, misalnya tata buku dan manajemen. Hal penting lain yang diajarkan adalah sejarah gerakan perempuan Indonesia. Sudah sejak awalnya GERWANI sangat giat dalam membantu peningkatan kesadaran perempuan tani, bekerja sama dengan bagian perempuan BTI, membantu aksi-aksi sepihak pendudukan tanah yang dilancarkan oleh BTI, dan menuntut agar hak atas tanah juga diberikan kepada kaum perempuan. GERWANI juga melakukan kampanye pemberantasan buta huruf yang dimulai pada tahun 1955, perubahan Undang-undang Perkawinan yang lebih demokratis, menuntut hukuman yang berat untuk pelaku perkosaan dan penculikan, dan terlibat dalam demonstrasi menuntut hak-hak buruh perempuan. GERWANI menerbitkan dua (2) majalah, Api Kartini dan Berita Gerwani. Api Kartini terutama ditujukan bagi pembaca lapisan tengah yang sedang tumbuh tidak hanya memuat tulisan-tulisan tentang masak-memasak, pengasuhan anak, mode, dll, tetapi juga soal-soal yang lebih “feminis” dan “kiri” seperti kejahatan imperilaisme (Api Kartini adalah majalah pertama di Indonesia yang menunjukkan pengaruh buruk film-film Hollywood yang bermutu rendah yang saat itu banyak beredar dan baru belakangan PKI melontarkan masalah imperialisme kebudayaan Barat), poligami, dan pentingnya pendidikan bagi kaum perempuan serta masalah sekitar kaum perempuan yang bekerja. Berita Gerwani adalah majalah intern organisasi, dengan berita-berita tentang konferensi dan organisasi perempuan di negara-negara sosialis.
Semua itu dilakukan oleh perempuan Indonesia yang ingin mendidik perempuan untuk maju, yang ingin mengubah Indonesia menjadi negeri yang adil tanpa penindasan dan penghisapan atas manusia, yang memperjuangkan kepentingan rakyat miskin, yang anti-imperialisme. Mereka telah menunjukkan keberanian dalam menghadapi kesulitan, tidak sedikit dari mereka bahkan gigih membela keyakinannya sekalipun dengan tebusan nyawa.

Namun kudeta militer merubah segalanya. GERWANI dicap sebagai perkumpulan pelacur, wadah berkumpulnya perempuan kasar (jauh dari perwujudan perempuan Indonesia semestinya: lemah lembut, pendiam, penurut, sopan, ibu yang penuh kasih sayang, isteri yang setia dan jauh dari hal-hal politik) serta atheis. Kampanye menjatuhkan GERWANI menjadi histeria massa, dan orang-orang yang pernah menjadi anggotanya menghadapi bahaya dan penyingkiran di masyarakat. Berakhirnya riwayat organisasi perempuan Indonesia yang terbesar ini sungguh mendadak, cepat, dan tidak terduga. Keluh kesah apa pun yang diungkapkan sehubungan dengan situasi sosial dan ekonomi yang sulit, dan terutama mengenai bagaimana hubungannya dengan subordinasi kaum perempuan, akan dicap sebagai berpolitik. Keluh kesah demikian berimplikasi semangat Kiri, dan “Kiri” dalam hubungan dengan “kaum perempuan” akan menimbulkan berbagai kesulitan yang disangkutpautkan dengan pesta pora seks dan upacara pembunuhan. Demikianlah rezim militer menggunakan simbol-simbol tersebut untuk menciptakan pembenaran bagi kelangsungan tindakan represinya, tidak saja terhadap kaum perempuan tetapi juga terhadap golongan tertindas lainnya. Sampai sekarang.
Peran organisasi perempuan ini telah ditahbiskan oleh negara melalui teks-teks hingga seluloid film sebagai stereotip perempuan yang kurang bermoral dan terlibat dalam Peristiwa 30 September 1965. Studi Saskia E Wierenga dan Katherine E Mc Gregor menunjukkan betapa wacana tunggal kekuasaan telah melakukan stigmatisasi terhadap lembaga Gerwani. Deskripsi tunggal yang dibenarkan instrument negara tersebut menumbuhkan proses anarki kekuasaan yang mencuatkan kekerasan simbolik.

Kekerasan simbolik ini melahirkan kepatuhan dan kefasihan dalam diam yang harus diterima oleh perempuan Indonesia. Demikian halnya dengan perlakuan negara yang ditimpakan kepada pengurus dan anggota Gerwani sesudah mereka dituding terlibat didalam peristiwa 30 September 1965.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar