NAMA :
ROSI PRATIWI
BP :
2010
GERWANI dan PENGARUH pada
ERA 1990-an
Gerwani (Gerakan Wanita
Indonesia) adalah organisasi perempuan yang paling besar dan paling berpengaruh
dalam sejarah Indonesia. GERWANI berasal dari Gerakan Wanita Sedar (GERWIS)
yang didirikan pada tahun 1950. Para anggotanya ini pada umumnya berpendidikan
tinggi dan berkesadaran politik. Kaum perempuan tertarik pada organisasi ini
semata-mata oleh karena kegiatannya yang menyangkut kebutuhan sehari-hari
mereka. Warung-warung koperasi simpan pinjam kecil-kecilan didirikan. Perempuan
tani dan buruh disokong dalam sengketa mereka dengan tuan tanah atau majikan
pabrik tempat mereka bekerja. Taman Kanak-kanak diselenggarakan dipasar,
perkebunan, dan kampung-kampung. Dibuka pula badan-badan penyuluh perkawinan
untuk membantu kaum perempuan yang menghadapi masalah perkawinan. Kursus
kader-kader dibuka pada berbagai tingkat organisasi, dan dalam kursus-kursus
ini digunakan buku-buku tulisan Friedrich Engels, August Babel, Clara Zetkin,
dan Soekarno.
Pada kesempatan ini juga
diajarkan keterampilan teknis, misalnya tata buku dan manajemen. Hal penting
lain yang diajarkan adalah sejarah gerakan perempuan Indonesia. Sudah sejak
awalnya GERWANI sangat giat dalam membantu peningkatan kesadaran perempuan
tani, bekerja sama dengan bagian perempuan BTI, membantu aksi-aksi sepihak
pendudukan tanah yang dilancarkan oleh BTI, dan menuntut agar hak atas tanah
juga diberikan kepada kaum perempuan. GERWANI juga melakukan kampanye
pemberantasan buta huruf yang dimulai pada tahun 1955, perubahan Undang-undang
Perkawinan yang lebih demokratis, menuntut hukuman yang berat untuk pelaku
perkosaan dan penculikan, dan terlibat dalam demonstrasi menuntut hak-hak buruh
perempuan. GERWANI menerbitkan dua (2) majalah, Api Kartini dan Berita Gerwani.
Api Kartini terutama ditujukan bagi pembaca lapisan tengah yang sedang tumbuh
tidak hanya memuat tulisan-tulisan tentang masak-memasak, pengasuhan anak,
mode, dll, tetapi juga soal-soal yang lebih “feminis” dan “kiri” seperti
kejahatan imperilaisme (Api Kartini adalah majalah pertama di Indonesia yang
menunjukkan pengaruh buruk film-film Hollywood yang bermutu rendah yang saat
itu banyak beredar dan baru belakangan PKI melontarkan masalah imperialisme
kebudayaan Barat), poligami, dan pentingnya pendidikan bagi kaum perempuan
serta masalah sekitar kaum perempuan yang bekerja. Berita Gerwani adalah
majalah intern organisasi, dengan berita-berita tentang konferensi dan
organisasi perempuan di negara-negara sosialis.
Semua itu dilakukan oleh
perempuan Indonesia yang ingin mendidik perempuan untuk maju, yang ingin
mengubah Indonesia menjadi negeri yang adil tanpa penindasan dan penghisapan
atas manusia, yang memperjuangkan kepentingan rakyat miskin, yang
anti-imperialisme. Mereka telah menunjukkan keberanian dalam menghadapi
kesulitan, tidak sedikit dari mereka bahkan gigih membela keyakinannya
sekalipun dengan tebusan nyawa.
Namun kudeta militer merubah
segalanya. GERWANI dicap sebagai perkumpulan pelacur, wadah berkumpulnya
perempuan kasar (jauh dari perwujudan perempuan Indonesia semestinya: lemah
lembut, pendiam, penurut, sopan, ibu yang penuh kasih sayang, isteri yang setia
dan jauh dari hal-hal politik) serta atheis. Kampanye menjatuhkan GERWANI
menjadi histeria massa, dan orang-orang yang pernah menjadi anggotanya
menghadapi bahaya dan penyingkiran di masyarakat. Berakhirnya riwayat
organisasi perempuan Indonesia yang terbesar ini sungguh mendadak, cepat, dan
tidak terduga. Keluh kesah apa pun yang diungkapkan sehubungan dengan situasi
sosial dan ekonomi yang sulit, dan terutama mengenai bagaimana hubungannya
dengan subordinasi kaum perempuan, akan dicap sebagai berpolitik. Keluh kesah
demikian berimplikasi semangat Kiri, dan “Kiri” dalam hubungan dengan “kaum
perempuan” akan menimbulkan berbagai kesulitan yang disangkutpautkan dengan
pesta pora seks dan upacara pembunuhan. Demikianlah rezim militer menggunakan
simbol-simbol tersebut untuk menciptakan pembenaran bagi kelangsungan tindakan
represinya, tidak saja terhadap kaum perempuan tetapi juga terhadap golongan
tertindas lainnya. Sampai sekarang.
Peran organisasi perempuan ini
telah ditahbiskan oleh negara melalui teks-teks hingga seluloid film sebagai
stereotip perempuan yang kurang bermoral dan terlibat dalam Peristiwa 30
September 1965. Studi Saskia E Wierenga dan Katherine E Mc Gregor menunjukkan
betapa wacana tunggal kekuasaan telah melakukan stigmatisasi terhadap lembaga
Gerwani. Deskripsi tunggal yang dibenarkan instrument negara tersebut
menumbuhkan proses anarki kekuasaan yang mencuatkan kekerasan simbolik.
Kekerasan simbolik ini melahirkan
kepatuhan dan kefasihan dalam diam yang harus diterima oleh perempuan
Indonesia. Demikian halnya dengan perlakuan negara yang ditimpakan kepada
pengurus dan anggota Gerwani sesudah mereka dituding terlibat didalam peristiwa
30 September 1965.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar