Filsafat Positivisme
Asal Mula Positivisme
Positivisme adalah suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu alam
sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak aktifitas
yang berkenaan dengan metafisik. Tidak mengenal adanya spekulasi, semua
didasarkan pada data empiris.
Sesungguhnya aliran ini menolak adanya spekulasi teoritis sebagai suatu
sarana untuk memperoleh pengetahuan (seperti yang diusung oleh kaum
idealisme khususnya idealisme Jerman Klasik).
Positivisme merupakan empirisme, yang dalam segi-segi tertentu sampai
kepada kesimpulan logis ekstrim karena pengetahuan apa saja merupakan
pengetahuan empiris dalam satu atau lain bentuk, maka tidak ada
spekulasi dapat menjadi pengetahuan. Terdapat tiga tahap dalam
perkembangan positivisme, yaitu:
1. Tempat utama dalam positivisme pertama diberikan pada Sosiologi,
walaupun perhatiannya juga diberikan pada teori pengetahuan yang
diungkapkan oleh Comte dan tentang Logika yang dikemukakan oleh Mill.
Tokoh-tokohnya Auguste Comte, E. Littre, P. Laffitte, JS. Mill dan
Spencer.
2. Munculnya tahap kedua dalam positivisme – empirio-positivisme –
berawal pada tahun 1870-1890-an dan berpautan dengan Mach dan Avenarius.
Keduanya meninggalkan pengetahuan formal tentang obyek-obyek nyata
obyektif, yang merupakan suatu ciri positivisme awal. Dalam Machisme,
masalah-masalah pengenalan ditafsirkan dari sudut pandang psikologisme
ekstrim, yang bergabung dengan subyektivisme.
3. Perkembangan positivisme tahap terakhir berkaitan dengan lingkaran
Wina dengan tokoh-tokohnya O.Neurath, Carnap, Schlick, Frank, dan
lain-lain. Serta kelompok yang turut berpengaruh pada perkembangan tahap
ketiga ini adalah Masyarakat Filsafat Ilmiah Berlin.
Kedua kelompok ini menggabungkan sejumlah aliran seperti atomisme
logis, positivisme logis, serta semantika. Pokok bahasan positivisme
tahap ketiga ini diantaranya tentang bahasa, logika simbolis, struktur
penyelidikan ilmiah dan lain-lain.
Positivisme Logis
Dalam perkembangannya, positivisme mengalami perombakan dibeberapa sisi,
hingga munculah aliran pemikiran yang bernama Positivisme Logis yang
tentunya di pelopori oleh tokoh-tokoh yang berasal dari Lingkaran Wina.
Positivisme logis adalah aliran pemikiran dalam filsafat yang membatasi
pikirannya pada segala hal yang dapat dibuktikan dengan pengamatan atau
pada analisis definisi dan relasi antara istilah-istilah. Fungsi
analisis ini mengurangi metafisika dan meneliti struktur logis
pengetahuan ilmiah. Tujuan dari pembahasan ini adalah menentukan isi
konsep-konsep dan pernyataan-pernyataan ilmiah yang dapat diverifikasi
secara empiris.
Tujuan akhir dari penelitian yang dilakukan pada positivisme logis ini
adalah untuk mengorganisasikan kembali pengetahuan ilmiah di dalam suatu
sistem yang dikenal dengan ”kesatuan ilmu” yang juga akan menghilangkan
perbedaan-perbedaan antara ilmu-ilmu yang terpisah. Logika dan
matematika dianggap sebagai ilmu-ilmu formal.
Positivisme berusaha menjelaskan pengetahuan ilmiah berkenaan dengan
tiga komponen yaitu bahasa teoritis, bahasa observasional dan
kaidah-kaidah korespondensi yang mengakaitkan keduanya. Tekanan
positivistik menggarisbawahi penegasannya bahwa hanya bahasa
observasional yang menyatakan informasi faktual, sementara
pernyataan-pernyataan dalam bahasa teoritis tidak mempunyai arti faktual
sampai pernyataan-pernyataan itu diterjemahkan ke dalam bahasa
observasional dengan kaidah-kaidah korespondensi.
Auguste Comte dan Positivisme
Comte adalah tokoh aliran positivisme yang paling terkenal. Kamu
positivis percaya bahwa masyarakat merupakan bagian dari alam dimana
metode-metode penelitian empiris dapat dipergunakan untuk menemukan
hukum-hukum sosial kemasyarakatan. Aliran ini tentunya mendapat pengaruh
dari kaum empiris dan mereka sangat optimis dengan kemajuan dari
revolusi Perancis.
Pendiri filsafat positivis yang sesungguhnya adalah Henry de Saint Simon
yang menjadi guru sekaligus teman diskusi Comte. Menurut Simon untuk
memahami sejarah orang harus mencari hubungan sebab akibat, hukum-hukum
yang menguasai proses perubahan. Mengikuti pandangan 3 tahap dari
Turgot, Simon juga merumuskan 3 tahap perkembangan masyarakat yaitu
tahap Teologis, (periode feodalisme), tahap metafisis (periode
absolutisme dan tahap positif yang mendasari masyarakat industri.
Comte menuangkan gagasan positivisnya dalam bukunya the Course of Positivie Philosoph, yang
merupakan sebuah ensiklopedi mengenai evolusi filosofis dari semua ilmu
dan merupakan suatu pernyataan yang sistematis yang semuanya itu
tewujud dalam tahap akhir perkembangan. Perkembangan ini diletakkan
dalam hubungan statika dan dinamika, dimana statika yang dimaksud adalah
kaitan organis antara gejala-gejala ( diinspirasi dari de Bonald),
sedangkan dinamika adalah urutan gejala-gejala (diinspirasi dari
filsafat sehjarah Condorcet).
Bagi Comte untuk menciptakan masyarakat yang adil, diperlukan metode
positif yang kepastiannya tidak dapat digugat. Metode positif ini
mempunyai 4 ciri, yaitu :
1. Metode ini diarahkan pada fakta-fakta
2. Metode ini diarahkan pada perbaikan terus meneurs dari syarat-syarat hidup
3. Metode ini berusaha ke arah kepastian
4. Metode ini berusaha ke arah kecermatan.
Metode positif juga mempunyai sarana-sarana bantu yaitu pengamatan,
perbandingan, eksperimen dan metode historis. Tiga yang pertama itu
biasa dilakukan dalam ilmu-ilmu alam, tetapi metode historis khusus
berlaku bagi masyarakat yaitu untuk mengungkapkan hukum-hukum yang
menguasai perkambangan gagasan-gagasan.
Karl R Popper: Kritik terhadap Positivisme Logis
Asumsi pokok teorinya adalah satu teori harus diji dengan
menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan
ketidakbenarannya, dan Popper menyajikan teori ilmu pengetahuan baru ini
sebagai penolakannya atas positivisme logis yang beranggapan bahwa
pengetahuan ilmiah pada dasarnya tidak lain hanya berupa generalisasi
pengalaman atau fakta nyata dengan menggunakan ilmu pasti dan logika.
Dan menurut positivisme logis tugas filsafat ilmu pengetahuan adalah
menanamkan dasar untuk ilmu pengetahuan.
Hal yang dikritik oleh Popper pada Positivisme Logis adalah tentang
metode Induksi, ia berpendapat bahwa Induksi tidak lain hanya khayalan
belaka, dan mustahil dapat menghasilkan pengetahuan ilmiah melalui
induksi. Tujuan Ilmu Pengetahuan adalah mengembangkan pengetahuan ilmiah
yang berlaku dan benar, untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan
logika, namun jenis penalaran yang dipakai oleh positivisme logis adalah
induksi dirasakan tidak tepat sebab jenis penalaran ini tidak mungkin
menghasilkan pengetahuan ilmiah yang benar dan berlaku, karena elemahan
yang bisa terjadi adalah kesalahan dalam penarikan kesimpulan, dimana
dari premis-premis yang dikumpulkan kemungkinan tidak lengkap sehingga
kesimpulan atau generalisasi yang dihasilkan tidak mewakili fakta yang
ada. Dan menurutnya agar pengetahuan itu dapat berlaku dan bernilai
benar maka penalaran yang harus dipakai adalah penalaran deduktif.
Penolakan lainnya adalah tentang Fakta Keras, Popper berpendapat bahwa
fakta keras yang berdiri sendiri dan terpisah dari teori sebenarnya
tidak ada, karena fakta keras selalu terkait dengan teori, yakni
berkaitan pula dengan asumsi atau pendugaan tertentu. Dengan demikian
pernyataan pengamatan, yang dipakai sebagai landasan untuk membangun
teori dalam positivisme logis tidak pernah bisa dikatakab benar secara
mutlak.
Analisa Positivisme
Kalau di amati positivisme dari sudut pandang asalnya, maka kita akan
dapat mengetahui bahwa positivisme berakar dari teori empirisme, di mana
aspek yang terkandung dalam empirisme juga terkandung dalam
positivisme, aspek tersebut adalah:
v Perbedaan antara yang
diketahui dan yang mengetahui. Yang mengetahui adalah subyek dan benda
yang diketahui adalah obyek. Terdapat alam nyata yang terdiri dari fakta
atau obyek yang adapat ditangkap oleh seseorang. Hal ini sama dengan
positivisme, di mana hal-hal yang nyata dan dapat diketahuilah yang dapat diteliti, suatu hal yang bersifat khayalan atau yang maya maupun yang mistis tidak dapat dijadikan kajian.
positivisme, di mana hal-hal yang nyata dan dapat diketahuilah yang dapat diteliti, suatu hal yang bersifat khayalan atau yang maya maupun yang mistis tidak dapat dijadikan kajian.
v Kebenaran atau pengujian
kebenaran dari fakta atau obyek didasarkan pada pengalaman manusia, atau
dalam hal ini maka pernyataan ada atau tidak adanya sesuatu haruslah
memenuhi persyaratan pengujian publik. Sedangkan dalam positivisme,
menurut Comte, di mana didalam pengetahuan sosial mensyaratkan
subordinasi observasi dan juga pengujian.
v Prinsip keteraturan.
Pengetahuan tentang alam didasarkan pada persepsi mengenai cara yang
teratur tentang tingkah laku sesuatu, dan pada dasarnya alam adalah
teratur. Dengan melukiskan bagaimana sesuatu telah terjadi dimasa lalu
atau dengan melukiskan bagaimana tingkah laku benda-benda yang sama
sekarang.
Dalam law of three stages, tercermin pandangan Comte tentang
garis perkembangan menuju ke arah kemajuan, yang berlaku tidak saja
dalam proses sejarah kehidupan manusia, akan tetapi juga dalam proses
perkembangan jiwa manusia secara individual dan keseluruhan. Pandangan
tersebut juga terlihat dalam penggolongan ilmu pengetahuan yang ia
susun. “Kemajuan” merupakan segi kekuatan filsafat positivisme August
Comte, artinya filsafat tersebut ternyata dapat mempertebal rasa
optimisme ataupun mitos yang telah timbul sejak zaman Aufklarung tentang masa depan manusia yang cerah atau maju.
Filsafat positivisme mempunyai tempat tersendiri dalam sejarah filsafat
Barat, banyak para tokoh yang mengatakan bahwa Comte bukanlah seorang
paham dogmatisme karena ia selalu melacak percobaan yang terjadi
dalam pandangan manusia, serta selalu mengemukakan relatifnya
pengetahuan manusia. Dia juga bukanlah penganut paham idealisme, karena
ia selalu menegaskan bahwa corak khas filsafat positivism terletak pada
penempatan imajinasi di bawah kendali pengamatan terus menerus.
Logika positivisme berkembang menjadi logika atomisme Russel dan
ittgenstein, perkembangan logicapositisme kemudian banyak digarap oleh
para anggota lingkaran Wina dan mencurahkan perhatiannya untuk dua
sasaran, yaitu penyatuan ilmu dan pengabaian metafisik.
Dari deskriptif ringkas di atas mengenai positivisme, maka sebenarnya
positivisme mempunyai beberapa kelebihan dan kekurangan, yaitu antara
lain:
a. Kelebihan Positivisme
Di antara kelebihan positivisme adalah:
Ø Positivisme lahir dari
faham empirisme dan rasional, sehingga kadar dari faham ini jauh lebih
tinggi dari pada kedua faham tersebut.
Ø Hasil dari rangkaian
tahapan yang ada didalamnya, maka akan menghasilkan suatu pengetahuan
yang mana manusia akan mempu menjelaskan realitas kehidupan tidak secara
spekulatif, arbitrary, melainkan konkrit, pasti dan bisa jadi mutlak, teratur dan valid.
Ø Dengan kemajuan dan
dengan semangat optimisme, orang akan didorong untuk bertindak aktif dan
kreatif, dalam artian tidak hanya terbatas menghimpun fakta, tetapi
juga meramalkan masa depannya.
juga meramalkan masa depannya.
Ø Positivisme telah mampu mendorong lajunya kemajuan disektor fisik dan teknologi.
Ø Positivisme sangat
menekankan aspek rasionali-ilmiah, baik pada epistemology ataupun
keyakinan ontologik yang dipergunakan sebagai dasar pemikirannya.
b. Kelemahan Positivisme
Di antara kelemahan positivisme adalah:
Ø Analisis biologik yang
ditransformasikan ke dalam analisis sosial dinilai sebagai akar
terpuruknya nilai-nilai spiritual dan bahkan nilai-nilai kemanusiaan.
Hal ini dikarenakan manusia tereduksi ke dalam pengertian
fisik-biologik.
Ø Akibat dari
ketidakpercayaannya terhadap sesuatu yang tidak dapat diuji
kebenarannya, maka faham ini akan mengakibatkan banyaknya manusia yang
nantinya tidak percaya kepada Tuhan, Malaikat, Setan, surga dan neraka.
Padahal yang demikian itu didalam ajaran Agama adalah benar kebenarannya
dan keberadaannya. Hal ini
ditandai pada saat paham positivistik berkembang pada abad ke 19, jumlah orang yang tidak percaya kepada agama semakin meningkat.
ditandai pada saat paham positivistik berkembang pada abad ke 19, jumlah orang yang tidak percaya kepada agama semakin meningkat.
Ø Manusia akan kehilangan
makna, seni atau keindahan, sehingga manusia tidak dapat merasa bahagia
dan kesenangan itu tidak ada. Karena dalam positivistic semua hal itu
dinafikan.
Ø Hanya berhenti pada sesuatu yang nampak dan empiris sehingga tidak dapat menemukan pengetahuan yang valid.
Ø Positivisme pada
kenyataannya menitik beratkan pada sesuatu yang nampak yang dapat
dijadikan obyek kajiaannya, di mana hal tersebut adalah bergantung
kepada panca indera. Padahal perlu diketahui bahwa panca indera manusia
adalah terbatas dan
tidak sempurna. Sehingga kajiannya terbatas pada hal-hal yang nampak saja, padahal banyak hal yang tidak nampak dapat dijadikan bahan kajian.
tidak sempurna. Sehingga kajiannya terbatas pada hal-hal yang nampak saja, padahal banyak hal yang tidak nampak dapat dijadikan bahan kajian.
Ø Hukum tiga tahap yang
diperkenalkan Comte mengesankan dia sebagai teorisi yang optimis, tetapi
juga terkesan lincar – seakan setiap tahapan sejarah evolusi merupakan
batu pijakan untuk mencapai tahapan berikutnya, untuk kemudian bermuara
pada puncak yang digambarkan sebagai masyarakat positivistic. Bias
teoritik seperti itu tidak memberikan ruang bagi realitas yang
berkembang atas dasar siklus – yakni realitas sejarah berlangsung
berulang-ulang tanpa titik akhir sebuah tujuan sejarah yang final.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar